Pancasila menjadi suatu yang sangat fundamental, karena Pancasila menampilkan keragaman Indonesia
Jakarta – Ketua Yayasan Generasi Lintas Budaya Olivia Zalianty mengatakan siswa maupun masyarakat dapat mengenal Indonesia dengan mempelajari pemikiran Bung Karno.
“Dengan mempelajari pemikiran Bung Karno sama seperti aku lebih mempelajari lagi atau mengenali Indonesia, ” ujar Olivia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Dia menilai sosok Bung Karno merupakan tokoh yang memiliki gaya berpikir yang cerdas, strategis, tepat waktu dan ruang.
Artis Monolog “Aku dan Soekarno” tersebut mengagumi kecerdasan Bung Karno yang dapat mengkristalisasikan ideologi-ideologi dunia menjadi satu ideologi yang mengikat dunia yaitu Pancasila.
Salah satu bentuk ilustrasi itu, tambah dia, adalah kemanusiaan. Kemanusiaan itu memiliki suatu adab atau moralitas.
“Bung Karno pernah mengatakan kepribadian yang berkebudayaan, hal ini yang seharusnya menjadi pegangan hidup manusia untuk bisa lebih bersikap.”
Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif mengatakan Pancasila merupakan hasil penggalian dan penemuan diri sejarah yang merentang panjang, mulai dari periode pembibitan, perumusan hingga pengesahan. Dalam buku ‘Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’ dikatakan bahwa Sukarno mulai memikirkan Pancasila sejak usia 17 tahun.
“Pancasila menjadi suatu yang sangat fundamental, karena Pancasila menampilkan keragaman Indonesia. Indonesia begitu besar wilayahnya begitu banyak dan majemuk penduduknya. Maka siapa saja yang ingin memimpin Indonesia, menjadi warga negara Indonesia yang baik harus memiliki keluasan mental dan kekayaan rohani seluas Indonesia dan majemuk dan sebanyak penduduk indonesia. Maka dari itu, penting bagi kita memahami nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,” kata Yudi.
Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando menjelaskan masyarakat Indonesia harus memahami bahwa Pancasila yang telah dirumuskan Bung Karno merupakan salah satu dasar negara yang paling sempurna. Pasalnya, Pancasila mencakup seluruh sendi kehidupan manusia.
Perpusnas bersama seluruh jajarannya, termasuk UPT Perpustakaan Proklamator Bung Karno maupun UPT Perpustakaan Proklamator Bung Hatta, kata Syarif, memiliki tugas memastikan seluruh masyarakat Indonesia bisa menikmati filosofi dari dasar negara yakni mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Untuk itu, bicara mengenai literasi tentunya akan berbeda dengan versi literasi pada 75 tahun silam.
Syarif menambahkan pada awal Kemerdekaan 17 Agustus 1945, saat Presiden Sukarno mendeklarasikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 98 persen penduduk Indonesia tidak bisa membaca.
Dengan anggaran pendidikan yang sangat minim, Sukarno harus turun langsung bahkan berjalan kaki dari Blitar ke Tulungagung untuk memastikan pemberantasan buta aksara bisa berjalan dengan baik.
“Pada saat itu literasi hanya sebatas kemampuan mengenal kata, kemampuan mengenal kalimat, dan menyatakan hubungan sebab akibat,” jelas Syarif.
Namun kondisi berbeda pada masa saat ini, di mana sebanyak 96 persen penduduk Indonesia sudah melek huruf, ditambah dukungan anggaran pendidikan yang cukup besar. Oleh karena itu makna literasi pun harus mengalami perubahan sehingga guna mewujudkan SDM unggul.
“Literasi yang mau kita bangun saat ini, salah satunya kemampuan aksestabilitas terhadap sumber bahan bacaan terbaru, kemudian kemampuan memahami yang tersirat dari yang tersurat, mengemukakan ide, teori, kreativitas dan inovasi baru serta mampu menciptakan barang dan jasa bermutu yang bisa dipakai dalam kompetisi global, ” jelas Syarif.