Datanglah ke Desa Penglipuran, Kec/Kab. Bangli, Provinsi Bali, maka Anda akan mengatakan bahwa kebersihan bukan hanya milik desa-desa di Eropa.
Desa berjarak sekitar 45 kilometer dari Kota Denpasar atau sekitar 60 kilometer dari Bandara Internasional Ngurah Rai ini, saking bersihnya, dinobatkan oleh majalah International Boombastic sebagai desa terbersih ketiga di dunia menurut Green Destinations Foundation, setelah Desa Mawlynnong di India dan Giethoorn di Belanda.
Desa Penglipuran adalah salah satu dari sembilan desa adat di Bali dan terdiri atas 243 kepala keluarga.
Memasuki desa yang udaranya segar (berkisar 16-29°C) Anda tidak akan melihat
sampah berserakan, tak ada limbah rumah tangga berceceran, serta tak ada puntung rokok. Selokannya juga jernih dan bebas dari cairan limbah rumah tangga. Setiap 30 meter terdapat tempat sampah.
Sebagai desa adat, masyarakat Desa Penglipuran amat memegang tegas tradisi nenek moyang yang sudah berumur ratusan tahun. Mereka menerapkan dua hukum tradisional dalam bermasyarakat, yakni awig-awig dan drestha.
Ketua pengelola Desa Wisata Penglipuran, I Nengah Moneng, menuturkan, kebersihan Desa Penglipuran ini sudah terjalin secara turun-temurun dan sudah menjadi kepribadian masyarakat. Seluruh warga merasa memiliki tanggung jawab untuk melestarikan ajaran leluhurnya secara turun temurun.
Awig-awig mengatur soal kebersihan desa. Meski menyantumkan aturan soal kebersihan, nyatanya tak ada aturan mengenai sanksi di dalamnya. Dalam awig-awig diatur kewajiban menjaga lingkungan, kebersihan, keasrian dan keindahan desa.
Jika ada yang ketahuan membuang sampah sembarangan, tidak akan dikenakan sanksi, hanya teguran saja. Meski tak ada sanksi, bukan berarti masyarakat setempat lantas meremehkan awig-awig. Justru, masyarakat menjadi berkewajiban untuk menjaga kearifan luhur yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Pada awig-awig tersebut, tertulis beberapa aturan di antaranya larangan membuang limbah cairan rumah tangga lewat selokan depan rumah, serta larangan membuang sampah ke jalan utama desa. Semua limbah tersebut harus masuk ke septic tank yang berlokasi di belakang rumah mereka, sehingga saluran air depan rumah hanya dilalui oleh air hujan.
Selain itu, pihak desa juga menerapkan sejumlah aturan adat ketat. Salah satunya larangan menggunakan kendaraan bermotor agar kualitas udara tetap bersih. Wisatawan yang hendak berkeliling Desa Penglipuran harus berjalan kaki atau bersepeda.
Selain awig-awig, tradisi dan nilai luhur nenek moyang yang masih dipertahankan hinggasaat ini adalah tata ruang desa yang mengadopsi konsep Tri Mandala. Tri Mandala merupakan pembagian lahan menjadi tiga zona berdasarkan nilai kesucian yang diurutkan, mulai dari utara sebagai tempat paling suci hingga selatan sebagai tempat paling tidak suci. Oleh masyarakat setempat, zona utama mandala yang terletak di utara dianggap sebagai peraduan para dewa. Karena itu, tempat ibadah hanya didirikan di kawasan ini.
Salah satunya, Pura Penataran, tempat memuja Dewa Brahma yang merupakan pencipta seluruh alam semesta menurut kepercayaan Hindu. Sementara, di bagian tengah desa, terdapat zona madya mandala. Area ini difungsikan sebagai permukiman penduduk. Selanjutnya, zona paling tidak suci di selatan disebut sebagai nista mandala. Area ini dikhususkan sebagai tempat peristirahatan terakhir masyarakat yang sudah mangkat alias pemakaman penduduk.
Masyarakat Penglipuran juga masih mempertahankan Tri Hita Karana atau ajaran tentang keharmonisan atau keseimbangan antara hubungan Tuhan, manusia dan lingkungan. Karenanya, Penglipuran tak hanya bersih, tetapi penduduknya juga sangat rukun.
Aturan yang lain dan harus ditaati warganya, di desa yang 40% dari wilayah desanya adalah hutan bamboo ini, terdapat pantangan bagi warganya menebang pohon bambu tanpa seijin tokoh masyarakat. Hal ini terjadi karena mereka menganggap tanaman bambu sebagai simbol permulaan mereka, karena mereka meyakini bahwa bambu-bambu di sana ditanam oleh pendahulu mereka.
Sebagian besar bangunan di Penglipuran seperti Pawon (dapur), Bale Sakenem (tempat upacara keluarga) dan Bale Banjar (bangunan bersama) terbuat dari bambu sehingga sangat ramah lingkungan.
Selain predikat desa terbersih di dunia, Desa Penglipuran juga mendapat beberapa penghargaan bergengsi lain, seperti Indonesia Sustainable Tourism Award (ISTA) pada 2017 dan Sustainable Destinations Top 100 versi Green Destinations Foundation
Melansir dari CNN Indonesia, pasca pandemi Covid-19 di tahun 2022, jumlah kunjungan turis ke Desa Pelingpuran naik sampai dua kali lipat.
Menurut I Wayan Sumiarsa, Manajer Desa Wisata Penglipuran, total kunjungan wisatawan asing dan lokal di tahun 2022 mencapai 403 ribu orang dengan rata-rata kunjungan per hari 1500 – 2000 orang per hari. Bahkan, sempat mencapai 3.000 orang per hari di penghujung tahun 2022.
Wisatawan asing yang mendatangi Desa Penglipuran kebanyakan dari Eropa, Korea Selatan, dan Malaysia.
Faktor branding Desa Penglipuran sebagai desa terbersih di dunia juga berhasil menarik atensi dari berbagai penjuru dunia termasuk para delegasi KTT G20 di tahun 2022 untuk mengunjungi desa ini. Sementara untuk wisatawan domestik kebanyakan datang dari Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Kalimantan, dan Sumatera.(bud/berbagai sumber)