Kemala Atmojo Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Akhir pekan lalu, oleh salah seorang kenalan dari Yayasan Generasi Lintas Budaya, saya diundang untuk mengikuti Zoom meeting tentang gajah Asia yang semakin langka dan rencana pembuatan feature film soal itu di Indonesia. Ah, rupanya esok harinya adalah peringatan Hari Gajah Sedunia (World Elephant Day).
Hadir antara lain Ananda Hutapea, salah seorang pentolan Kitong Internasional, sebuah organisasi nirlaba yang kini mendunia. Lalu ada Travis Cloyd, salah seorang produser independen dari Amerika Serikat. Rencana judulnya “Elephant Wild”. Menurut Travis, salah seorang advokat hak-hak hewan untuk Clint Eastwood yang sudah membaca skripnya, “Elephant Wild adalah kisah yang menarik dan akan membawa perhatian pada situasi mengerikan yang dihadapi gajah di Indonesia dan Thailand dan diharapkan film tersebut mengaktifkan gerakan global untuk mengubah praktik perlakuan kita kepada gajah menjadi lebih manusiawi.”
Lalu, Rowdy Herrington, sang sutradara, berharap: “Ketika anak-anak dan keluarga mereka menonton film ini, mereka akan menyadari tanggung jawab yang kita miliki terhadap perlindungan satwa liar dan lahan liar untuk mendukung satwa tersebut. Kami akan melakukannya dengan menggunakan citra yang dihasilkan dari komputer (CGI). Ini untuk menciptakan efek situasi yang dihadapi makhluk luar biasa itu. Sama seperti film Free Willy yang membantu mengubah persepsi publik tentang paus Orca yang ditangkap. Tujuan kami adalah menjadikan Elephant Wild sebagai katalis bagi kesadaran global dan perubahan perilaku yang diperlukan untuk menyelamatkan gajah Asia dari kepunahan.”
Inti cerita film fiksi ini adalah soal usaha menyelamatkan anak gajah yang sedang diculik oleh sejumlah orang tak bertanggung jawab. Film ini akan akan mengajak penonton bertualang melihat Pelabuhan Kuala Tanjung, Tangkahan, dan Barumun Nagari untuk menyelamatkan anak gajah. Kita juga akan dibawa menikmati keindahan alam Danau Toba, kemegahan Jakarta, hiruk pikuk kota Medan, dan kesibukan Kawasan Pelabuhan Kuala Tanjung. Kita juga akan menikmati kedamaian yang ditawarkan oleh Barumun Nagari dan Tangkahan.
Film yang sarat dengan CGI dan VFX itu untuk meminimalkan pemakaian gajah sungguhan dalam proses pengambilan gambar. Teknologi mutakhir akan membantu menciptakan digital twin dari gajah-gajah Sumatera yang nantinya bisa dijadikan asset library dan dipergunakan untuk promosi lokasi-lokasi wisata Danau Toba maupun sebagai sarana pendidikan tentang gajah Sumatera.
Ya, bagus saja. Silakan saja segera shooting, kata saya dalam hati. Tinggal ikuti saja prosedur atau aturan yang berlaku bagi orang asing yang hendak melakukan pembuatan film di Indonesia. Apalagi, menurut Ananda Hutapea, mengutip data dari Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh, populasi gajah Sumatera saat ini tinggal sekitar 1.600 hingga 2.000 ekor yang tersebar di provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Simatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Sementara dari Forum Konservasi Gajah Indonesia, jumlah piopulasi di Kalimatan Utara sekitar 20 hingga 80 ekor. Jadi, ya, cukup memprihatinkan.
Rencananya, film ini akan diproduksi oleh Elephant Wild, LLC, akhir tahun ini dan diharapkan pada 2024 film tersebut dapat membuat banyak orang menaruh perhatian pada krisis yang dihadapi populasi Gajah di Asia Tenggara. Negara-negara Asia kini memang sedang bergulat dengan masalah mengerikan seperti hilangnya habitat, konflik manusia-gajah, perburuan gading, perdagangan bagian tubuh, dan penculikan yang menyayat hati. Elephant Wild, LLC memiliki misi untuk mengubah perspektif dunia tentang spesies yang terancam punah ini. Melalui film ini, mereka ingin menciptakan gerakan global, meningkatkan kesadaran dan mendorong perlakuan yang manusiawi terhadap gajah Asia.
Jadi, perlindungan gajah ini sangat penting, Gajah adalah spesies ikonik dan penting dalam ekosistem. Gajah, misalnya, merupakan bagian penting dari ekosistem hutan dan savana di berbagai wilayah di dunia. Mereka berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem dengan membantu menyebarkan biji-biji tanaman melalui kotoran mereka, serta membantu membentuk dan merawat habitat-habitat tertentu. Maka, melindungi mereka juga membantu menjaga keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Jika gajah punah, itu dapat mengganggu rantai makanan dan mempengaruhi populasi spesies lainnya.
Namun, kini gajah benar-benar menghadapi banyak ancaman, termasuk perburuan ilegal untuk gading, hilangnya habitat alami akibat deforestasi dan perluasan pertanian, serta konflik dengan manusia karena persaingan sumber daya. Oleh karena itu, upaya perlindungan gajah sangat penting untuk memastikan kelangsungan hidup mereka dan menjaga keseimbangan ekosistem global.
Di Indonesia, gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis) adalah dua subspesies gajah Asia yang dilindungi. Keduanya terancam punah akibat perburuan ilegal, hilangnya habitat, dan konflik dengan manusia. Beberapa langkah yang telah diambil untuk melindungi gajah di Indonesia termasuk pembentukan Kawasan Lindung dan Taman Nasional. Pemerintah Indonesia telah mendirikan berbagai kawasan lindung dan taman nasional di mana gajah dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Beberapa contoh termasuk Taman Nasional Way Kambas di Lampung, Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Sumatera.
Penegakan hukum juga perlu dilakukan untuk mengatasi perburuan ilegal gajah dan perdagangan ilegal gading gajah. Hal ini tentunya harus melibatkan kerjasama antara pihak berwenang, kepolisian, dan organisasi-organisasi konservasi. Lalu program pendidikan dan kesadaran masyarakat juga penting untuk mengubah sikap dan perilaku manusia terhadap gajah. Melalui kampanye edukasi, masyarakat diajak untuk mendukung upaya perlindungan gajah dan mengurangi konflik dengan hewan ini. Riset dan monitoring juga penting untuk pemantauan populasi gajah agar kita dapat memahami lebih baik kebutuhan ekologi mereka, serta untuk merancang strategi perlindungan yang efektif. Intinya, perlindungan gajah ini memerlukan usaha berkelanjutan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi konservasi, masyarakat lokal, dan masyarakat internasional.
Dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, gajah bukan hal yang aneh. Juga dalam budaya dan agama. Misalnya, dalam agama Hindu-Buddha, gajah dianggap sebagai simbol kekuatan dan kebijaksanaan. Patung-patung gajah sering ditemukan di situs-situs candi. Juga gajah beneran yang ada di Taman Wisata Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Jika kita pergi ke Bali, misalnya, kita akan mudah menemukan berbagai patung yang melambangkan gajah.
Jadi, mari kita selamatkan gajah. Jangan sampai nanti gajah Asia punah dari Indonesia dan kita hanya bisa menyaksikannya dalam film. Kalau sampai hal itu terjadi, peribahsa lama “manusia mati meningalkan nama, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading” bisa-bisa berubah dengan ungkapan baru yang sinikal: “Gajah Mati Meninggalkan Film”. Ayo, selamatkan gajah Asia!