Ada suasana yang tak biasa di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Jumat (11/8/2023). Desa tempat bermukimnya Suku Kajang yang biasanya damai dan tenang, pagi itu berubah ramai dan penuh kesibukan.
Maklum, Suku Kajang kedatangan tamu istimewa, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian bersama Istri Tri Suswati Tito Karnavian.
Setibanya di gerbang kawasan adat, Tito disambut dengan pemasangan pakaian khas adat Kajang yakni Passapu Lelleng (Ikat kepala hitam) dan Lipa Lelleng (Sarung Hitam) sebagai pakaian khas adat Kajang.
Tito yang didampingi Dirjen Polpum Bahtiar, Bupati Bulukumba Andi Muchtar Ali Yusuf serta rombongan kemudian berjalan kaki menuju rumah adat Ammatoa yang berada dalam kawasan.
Di rumah adat, Tito telah ditunggu oleh Ammatoa (sebutan Kepala Suku Kajang) serta pemangku adat lainnya. Seperti tamu tamu penting lainnya Tito diangkat sebagai warga kehormatan dan diberi nama Kajang.
Tito diberi gelar Puto Tito Daeng Manai yang artinya lelaki yang memiliki karir dan kedudukan selalu menanjak. Semantara Sang Istri, Tri suswati Tito Karnavian diberi gelar Jaja Paccing Daeng Manisi yang bermakna Perempuan yang berhati bersih dan berparas manis.
“Nama yang diberikan itu selain sebagai bentuk penghormatan juga sebagai doa dari pemangku adat kepada Pak Mendagri,” jelas Kahar Muslim, salah seorang tokoh Kajang.
Kearifan Lokal Suku Kajang
Suku Kajang yang dikenal sebagai suku tertua, tinggal di Kabupaten Bulukumba sekitar 200 kilometer dari kota Makassar. Hidup dengan kesederhanaan dan bergantung kepada alam, Suku Kajang memiliki ciri khas berpakaian serba hitam dan tidak memakai alas kaki.
Suku Kajang memiliki beragam ritual unik yang masih dijaga karena warisan leluhurnya. Suku ini sangat memegang teguh adat istiadatnya. Mereka tidak terlalu tertarik dengan dunia luar.
Kepercayaan yang dianut oleh Suku Kajang adalah agama Islam. Dalam bahasa konjo disebut Sallang, dan Tuhan yang diyakini untuk disembah adalah Allah atau dalam bahasa Konjo di sebut Turie’ A’ra’na.
Rumah Adat Suku Kajang
Mengenai bentuk bangunan Suku Kajang, sebetulnya hampir sama dengan bentuk rumah adat Suku Bugis-Makassar yaitu berbentuk rumah panggung. Perbedaannya adalah setiap rumah di Suku Kajang menghadap ke arah barat. Hal tersebut memiliki makna bahwa apabila membangun rumah melawan arah terbitnya matahari dipercaya mampu memberi berkah. Bentuk rumah mereka seragam, tidak ada yang berbeda. Hal ini untuk mengungkapkan kesederhanaan dan simbol keberagaman.
Selain itu, warga Suku Kajang tidak boleh dibangun dengan batu bata dan tanah, melainkan kayu. Bagi mereka, membangun rumah dengan batu bata dan tanah merupakan pantangan.
Suku Kajang percaya bahwa hanya orang yang sudah meninggal yang diapit oleh liah lahat dan tanah. Selain itu, penggunaan batu bata juga dinilai merusak hutan. Karena untuk membuat batu bata memerlukan kayu bakar yang banyak untuk pembakarannya.
Bagian-bagina rumah Suku Kajang memiliki beberapa filosofi, yaitu: Parra (bagian atas rumah), berfungsi sebagai penyimpanan makanan. Di bawa atap bagian kiri dan kanan ada ruang sebagau rak atau tempat menyimpan barang dan alat.
Kale Bella (bagian tengah rumah), berfungsi sebagai hunian keluarga. Sirih (bagian bawah rumah) berfungsi untuk tempat melakukan kegiatan menenun, ternak, atau menumbuk bahan makanan.
Pakaian Adat Suku Kajang
Pakaian adat Suku Kajang juga terbilang unik. Suku Kajang hanya mengenal satu warna untuk pakaian adatnya, yaitu warna hitam. Warna hitam bermakna persamaan dalam segala hal, termasuk sebagai simbol kesederhanaan. Tidak ada warna hitam yang lebih baik antara satu yang lainnya karena semua hitam adalah sama.
Makna lainnya, warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan, derajat bagi setiap orang di depan Sang Pencipta.
Bahasa Suku Kajang
Bahasa yang digunakan oleh Suku Kajang adalah bahasa Makassar yang berdialek Konjo. Secara aturan adat atau norma yang berlaku, di dalam Suku Kajang menjadi pantangan besar untuk berbicara kasar. Bahkan dalam bertutur kata, kita tidak boleh bersikap dengan bertolak pinggang.
Warga Suku Kajang dibiasakan untuk berbicara dengan melipat tangan di dada sambil membungkuk badan dan mengguung sarung. Dalam pemberian nama, mereka tidak diperkenankan menggunakan nama malaikat, nabi, atau nama kebesaran Allah, karena dianggap akan menimbulkan kedurhakaan dan menanggung dosa.
Perkawinan Suku Kajang
Soal pernikahan, Suku Kajang memiliki aturan adat sendiri. Masyarakat Kajang terikat oleh adat di mana mengharuskan mereka untuk menikah dengan sesama orang dalam kawasan adat. Jika tidak, mereka harus hidup di luar kawasan adat. Pengecualian bagi pasangan yang bersedia mengikuti segala aturan dan adat-istiadat yang berlaku dalam kawasan tersebut.