Oleh Raja Asdi
Merenungi makna “sebibit, setaman, hingga sehutan Indonesia” sejatinya merupakan proses kearifan budaya sejak awal bumi terhampar. Dalam wujud pohon terdapat simbol-simbol siklus peradaban, yang tak berujung tapi diyakini sebagai pengabaran makrokosmos-mikrokosmos.
Artinya, ada ke-bhinneka-an makna yang juga bersifat tunggal, bahwa muara pengembangan kehutanan adalah juga ketangapan akan isyarat-isyarat energi alam dan kuasa ketuhanan.
Sangat menarik menyiasati idiom-idiom purba tersebut. Kita, misalnya, bisa menyimak betapa sebibit pokok yang unggul akan diyakini menghasilkan keturunan yang andal pula: sehat dan memiliki masa depan. Di sinilah bermula lingkaran perjalanan menuju peradaban forestasi. Sebab, ketika sekumpulan bibit itu menjadi “setaman”, yang terbentuk adalah keragaman substansial. Pada “setaman” kita temukan embrio komunitas yang mempunyai potensi berkembang biak membentuk masyarakat makronya.
Bahkan, saat satu bibit menjadi satu taman dan terus berkembang menjadi satu hutan—yang kelak bernama Indonesia—kita diingatkan akan proses terbentuknya sebuah lokalitas yang berkembang secara dialektis, sehingga mencapai bingkai apa yang kelak kita kenal sebagai NKRI.
Sebagai kompensasinya, adalah suatu kewajiban jika kita kemudian mengkhidmatkan sepenuh kemurahan dan kerahiman hutan itu bagi sebesar-besarnya kemaslahatan dan kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat konstitusi.
Banyak Rezeki
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapakah yang bertanggung jawab terhadap iktikad sebibit, sepohon, setaman, sehutan Indonesia ini?
Tentu saja tanggung jawabnya berjenjang, mulai dari kesadaran individual, keluarga, komunitas, hingga kesadaran nasional. Hutan, seperti juga tubuh manusia, memerlukan perawatan dan perawatan agar tetap sehat, segar, dan mendapatkan keleluasaan untuk hidup. Melihat kondisi yang sudah sedemikian parahnya, tak ada lagi yang harus dilakukan kecuali memulai peningkatan upaya rehabilitasi hutan ke keadaan semula.
Berangkat dari pemikiran ini, pencanangan program Banyak Pohon Banyak Rezeki maupun Indonesia Menanam 1 Miliar Pohon (OBIT, One Billion Indonesian Trees) pada hakikatnya merupakan sumbangan bagi penumbuhan energi di masa depan. Program ini tidak hanya akan memugar kawasan hutan Indonesia, tetapi juga berdampak luas terhadap pencerahan ekonomi, ekosistem, ekowisata, ekokultural, rehabilitasi lahan, dan penetapan kawasan hutan secara cermat.
Memelihara hutan Indonesia tidak berarti lain kecuali memelihara bumi semesta jua. Inilah sumbangsih terbesar “sehutan Indonesia” untuk dunia.
Yang menarik, program-program forestasi selalu direspons positif oleh banyak kalangan. Simak adanya kegiatan menanam sejak bertahun lalu dengan berbagai program, di antaranya GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan), One Man One Tree (OMOT) yang diamanatkan Keppres No. 24/2008.
Implementasi gerakan budaya menanam terus dikumandangkan dengan berbagai aksi, di antaranya mahar pohon, duta One Man One Tree, sukarelawan bintang iklan One Man One Tree, Menulis Hutan Membaca Dunia, dan sebagainya.
Tak hanya itu, adanya penanaman pohon ketika ibu melahirkan yang dilanjutkan sosialisasi di semua lini merupakan gerakan kebudayaan menanam yang mencerahkan. Terlebih, program forestasi ini dilanjutkan dengan menanam 1 miliar pohon untuk dunia dan tindak lanjut program-program lainnya.
Bunda Alam
Sebibit, sepohon, setaman, sehutan Indonesia tanggung jawab siapa? Kali ini, pertanyaan itu seharusnya terjawab. Sebab, aura rakyat untuk menanam menjadi perilaku yang menjanjikan. Bahkan, kita simak melimpahnya upaya gerakan masyarkat peduli terhadap pohon hutan Indonesia. Ada yang dilakukan secara perorangan, yang tetap konsisten melestarikan hutan.
Mereka adalah pahlawan, orang-orang kecil yang tidak memerlukan publikasi. Dan memang, para pahlawan sejati tidak berharap penghargaan.
Adalah hal yang menarik, karena lingkungan penambangan kerap berbenturan dengan pelestarian kehutanan. Maka, salah satu korporasi yang bergerak di bidang tambang, yaitu Pertamina, dalam beberapa kegiatan berupaya menajamkan kepedulian terhadapap ekologi kehutanan.
Tentu saja kiprah penjaga energi pohon itu wajar diposisikan menjadi salah satu elemen dunia usaha untuk melakukan kegiatan penanaman, menanamkan budaya menanam sejak dini dan bekelanjutan. Tak pelak, kiprah ini mencerminkan kearifan akan kelestarian hutan. Mereka telah memosisikan budaya menanam pohon dan pelestarian sebagai nilai tradisi Indonesia. (Sumber: Lampung Post, 30 Maret 2012)
Tentang penulis:
Raja Asdi, Peminat Masalah Kehutanan